Kubuka lemari es dan kuambil minuman
dingin untuk tamuku yang datang dari jauh, ia, sebut saja dia Mona. Gadis
cantik yang baru berumur 19 tahun. Dia teman lamaku yang datang dan hendak
menginap dirumahku untuk beberapa hari. Dia datang dengan membawa sebuah koper
kecil berwarna merah marun, yang mungkin isinya hanya cukup untuk beberapa potong
baju dan peralatan mandi atau make-up. Dengan menggunakan kaos
biru muda dengan gambar kodok, dilengkapi dengan jaket adidasnya yang berwarna
hitam bergaris biru, jeans panjang dan sepatu basketnya. Rambutnya yang terurai
sebahu dan dengan satu jepit di bagian poni. Dia datang dan berkunjung
kerumahku.
Kami berbincang-bincang, hingga
tanpa kami sadari waktu telah menunjukan pukul 21.00 WIB. Kuajak dia kekamar
tamu yang terletak disebelah kamarku. Rumahku tidak besar, namun cukup nyaman
dan memiliki 3 buah kamar. Segera dia membereskan pakaiannya dan pergi ke kamar
mandi untuk mencuci wajah dan menyikat gigi. Aku pun membantunya membereskan
pakaiannya ke lemari kosong disebelah pintu masuk kamar ini, dan meletakan
semua perlengkapan make-upnya diatas meja rias yang tidak terlalu besar, dengan
kaca berbentuk oval dan dilapisi ukiran kayu yang cukup antik bagiku.
“Sudah malam Mon,
istirahat ya. Besok ibuku akan pulang dan kita lanjutkan perbincangan kita
besok.”
“Iya, makasih ya
Lis. Malam.”
“Malam..”
Pagi hari pun tiba. Aku terbangun
dengan suara adzan Subuh, dan segera mengambil air wudhu untuk segera
menunaikan solat. Tak lupa aku memanggil Mona. Namun, saat aku ke kamarnya dia
begitu terlelap dalam tidurnya. Aku tak tega untuk membangunkannya,
namun aku juga harus mengingatkan dia untuk solat.
Akhirnya, aku beranikan diri
membangunkannya. Ku tepuk-tepuk lengannya perlahan dengan memanggil.
“Mon, Mon, bangun
Mona, solat yuk udah subuh”.
Mona pun terbangun, dan sejenak mulai beradaptasi dengan keadaan
sekitarnya. Dia pun mengatakan hal yang membuat aku sangat terkejut
“Lis, buat apa kamu bangunin aku pagi-pagi
gini. Aku gak biasa bangun subuh. Aku seneng banget kamu mau ajak aku buat
solat, tapi....”
aku pun memotong dengan menanyakan pernyataan berikutnya yang sangatlah
lama ia katakan.
“tapi apa Mona?”
“aku gak bisa
solat Lis.”
Setelah aku tanyakan lebih dalam
lagi alasannya, aku baru tahu bahwa Mona tidak pernah diajarkan solat ataupun
mengaji. Wudhu pun dia tidak tahu caranya. Ibunya sibuk mengurus bisnis online-nya
di bidang fashion dan juga interior. Sedangkan, ayahnya sibuk
mengurus perusahaan keluarga dan cabang-cabangnya yang banyak menyebar
diberbagai kota. Mona bersekolah di kota metropolitan yaitu kota Jakart, dan
sekarang dia datang kerumahku untuk menghabiskan awal liburan kampusnya di kota
Bandung.
Aku pun tetap mengajaknya solat. Aku
coba ajari dia untuk berwudhu, dan mengikuti gerakan solat yang aku lakukan,
namun tetap serius dan tertuju pada Allah.
Kulihat jam dinding yang sudah cukup
tua di ruang tamu. Ternyata sudah jam 6 pagi. Aku bergegas memasak nasi goreng
dan goreng telur mata sapi untuk sarapan pagi ini. Lalu, mencuci semua piring
kotor dan mulai menyapu lantai. Saat menyapu teras rumah, ada seseorang yang
membuka pagar rumah dan berjalan ke arahku. Itu adalah ibuku, ibu baru pulang
dari rumah uwa yang tidak jauh dari rumah. Karena ada kepentingan, maka ibu
menginap dirumah uwa dan baru pulang pagi ini. Namun, ibu tahu bahwa ada
temanku yang akan menginap dirumah kami untuk beberapa hari.
“Asalamualaikum,
Lista.”
“Wa’alaikumsalam
bu.”
“Temanmu sudah
datang Lis?”
“Sudah bu.
Kemarin dia tiba disini jam 7 malam. Sekarang lagi di kamar tamu, katanya mau
mandi dan nanti keluar buat ketemu ibu.”
“Oh, ya sudah ibu
ke kamar dulu ya mau nyimpan tas dulu.”
Tidak lama kemudian Mona keluar
dengan menggunakan kaos panjang bergambar dengan warna hijau tosca
dan celana ¾ berbahan jeans. Rambutnya pun diikat, dan dia
hanya menggunakan make-up natural. Ku ajak dia keruang makan yang letaknya tidak
jauh dari ruang tamu dan cukup untuk 4 orang. Tidak lama kemudian, ibu keluar
dengan dasternya yang panjang berwarna merah marun dan bercorak batik.
“Hey Mon, gimana
kabarnya? Sudah lama sekali kamu tidak datang kemari.”
“Oh iya tante,
Mona baik kok. Tante sendiri gimana? Sehat kan?”
“Iya,
Alhamdulillah ibu dan Lista sehat-sehat saja. Ayo kita sarapan dulu. Maaf ya
sederhana, kami hanya seadanya saja, hehe.”
“Gak apa-apa kok
bu, segini juga udah bersyukur. Selamat makan.”
Selesai sarapan, aku dan Mona
membereskan meja makan, sedangkan ibu hendak menyetrika baju dimeja setrika
yang ada di depan televisi. Aku pun meminta izin pada ibu untuk pergi jalan-jalan
ke taman kota bersama Mona.
Kugunakan kaos panjang berwarna Violet
dengan gambar kucing, dan menggunakan jeans panjang. Kuurai rambutku, dan
kugunakan sendalku. Dengan jam tangan dan make-up natural, aku pergi keluar
rumah bersama Mona untuk jalan-jalan santai kesekitar taman kota yang tidak
jauh dari rumahku.
Ditengah candaan kami karena
kerinduan antar teman, aku pun mulai berbincang-bincang soal masalah yang ingin
diceritakan oleh Mona kemarin malam yang sempat tertunda. Mona memiliki masalah
yang cukup serius. Kedua orang tuanya berencana untuk bercerai karena dianggap
sudah berbeda paham dan pendapat. Masalah ini muncul disaat Mona akan mengikuti
perlombaan melukis di kampusnya, karena dia terkenal dengan lukisannya yang
indah dan penuh estetika. Ditambah, kakak laki-lakinya terancam masuk penjara
karena kasus tabrakan yang terjadi beberapa waktu lalu di daerah puncak dan
sekarang sedang diproses.
Mona tidak tahu harus cerita pada
siapa untuk berbagi dan meminta saran agar dia tida stress memikirkan masalah
hidup yang tiada hentinya. Lama kami berbincang dan tanpa terasa adzan Dzuhur
pun berkumandang dari sebuah mesjid besar di pinggir jalan sana. Aku pun
mengajaknya ke mesjid sebentar untuk solat sebelum kami pulang kerumah. Dia
begitu gugup karena memang dia belum pernah menginjakan kaki di mesjid manapun
sebelumnya.
Aku paham posisinya sekarang. Penuh
kegelisahan, penuh dengan beban pikiran dan begitu jauh dari Tuhan. Maka, aku
berniat untuk mengenalkan dia dengan agama yang dia pegang selama ini. Kuajak
dia berwudhu, dan kami solat berjemaah di mesjid ini. Sehabis berdo’a,
kami diam sejenak di depan mesjid yang letaknya berada diatas jalan dan nyaman
untuk tempat beristirahat.
Dia tersenyum melihat sekitar, dan
aku pun mulai berkata sesuatu padanya untuk memulai pembicaraan.
“Mon, kamu tahu
gak kenapa hidup kita di dunia ini penuh dengan cobaan yang tiada hentinya?
Mulai dari masalah kecil hingga yang besar yang kita pikir gak mungkin kita
sanggup hadapi itu semua?”
“Mungkin kita
emang tercipta buat disiksa Lis, atau apa? Aku gatau kenapa masalah itu datang
bertubi-tubi.”
“Bukan Mon. Itu
karena Tuhan sayang sama kita. Allah ingin kita lebih dekat dengan-Nya, makanya
Allah memberikan cobaan pada kita, untuk menguji kesabaran kita dan membuat
kita meminta pertolongan pada-Nya. Allah sangat senang apabila hamba-Nya mau
berdo’a dan dekat dengan-Nya. Dia tidak mungkin memberi cobaan yang berat bila
hamba-Nya tidak mampu menghadapinya.”
“Jadi maksudmu,
aku adalah orang yang bisa menghadapi ini semua, makanya Tuhan berikan cobaan
ini padaku?”
“Ya, benar. Yakinlah
bahwa kamu tidak pernah sendiri sekalipun kamu berada didalam ruangan gelap
gulita sendirian. Allah ada didalam tubuhmu Mon.”
“Ya, aku
mengerti. Aku dan kedua orang tuaku sudah melupakan Tuhan. Aku sudah berdosa
Lis. Apakah kalau aku bertobat, Tuhan akan memaafkanku? Karena sudah terlalu
lama dan aku pikir ini terlambat.”
“tidak ada kata
terlambat. Allah Maha Pengampun Dosa.”
Setelah pembicaraan kami disiang
itu, Mona mulai rajin belajar mengaji dan melancarkan solatnya. Aku pun sama-sama
belajar untuk lebih menguatkan iman ku. Dan setelah 2 minggu dia tinggal
dirumahku, Mona pun pamit pulang dengan menggunakan bis Arimbi jurusan
Bandung-Jakarta.
Sebulan, dua bulan berlalu. Hingga
setelah 6 bulan Mona menghubungiku. Dia cerita bahwa orang tuanya tidak jadi
bercerai. Ibunya berhenti usaha tinggi dan hanya membuka warung kecil di depan
rumah dan menjadi ibu rumah tangga. Sedangkan ayahnya tetap bekerja di
perusahaannya, dan kakaknya telah menyelesaikan kasusnya dengan jalan damai.
Mona pun berhasil meraih juara
pertama dalam lomba melukis di kampusnya. Dia sangat bahagia dan mulai sadar
bahwa Allah tidak akan meninggalkannya terpuruk sendiri. Dan pasti ada titik
terang dalam segala masalah.
Aku pun bahagia mendengar itu semua,
dan meyakinkan diri bahwa Allah Maha Besar dan Maha Tahu jalan menghadapi
masalah hidup. Seperti tanah kosong yang apabila kita rawat, maka akan subur dan
tumbuh rumput hijau diatasnya. Begitupun hati, apabila diberi ketaqwaan, maka
akan selalu tenang dan yakin akan kebesaran Ilahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar