Minggu, 07 Juli 2013

KEMBALI PADA TUHAN ADALAH JALAN ISTIMEWA


            Kubuka lemari es dan kuambil minuman dingin untuk tamuku yang datang dari jauh, ia, sebut saja dia Mona. Gadis cantik yang baru berumur 19 tahun. Dia teman lamaku yang datang dan hendak menginap dirumahku untuk beberapa hari. Dia datang dengan membawa sebuah koper kecil berwarna merah marun, yang mungkin isinya hanya cukup untuk beberapa potong baju dan peralatan mandi atau make-up. Dengan menggunakan kaos biru muda dengan gambar kodok, dilengkapi dengan jaket adidasnya yang berwarna hitam bergaris biru, jeans panjang dan sepatu basketnya. Rambutnya yang terurai sebahu dan dengan satu jepit di bagian poni. Dia datang dan berkunjung kerumahku.
            Kami berbincang-bincang, hingga tanpa kami sadari waktu telah menunjukan pukul 21.00 WIB. Kuajak dia kekamar tamu yang terletak disebelah kamarku. Rumahku tidak besar, namun cukup nyaman dan memiliki 3 buah kamar. Segera dia membereskan pakaiannya dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan menyikat gigi. Aku pun membantunya membereskan pakaiannya ke lemari kosong disebelah pintu masuk kamar ini, dan meletakan semua perlengkapan make-upnya diatas meja rias yang tidak terlalu besar, dengan kaca berbentuk oval dan dilapisi ukiran kayu yang cukup antik bagiku.
“Sudah malam Mon, istirahat ya. Besok ibuku akan pulang dan kita lanjutkan perbincangan kita besok.”
“Iya, makasih ya Lis. Malam.”
“Malam..”
            Pagi hari pun tiba. Aku terbangun dengan suara adzan Subuh, dan segera mengambil air wudhu untuk segera menunaikan solat. Tak lupa aku memanggil Mona. Namun, saat aku ke kamarnya dia begitu terlelap dalam tidurnya. Aku tak tega untuk membangunkannya, namun aku juga harus mengingatkan dia untuk solat.
            Akhirnya, aku beranikan diri membangunkannya. Ku tepuk-tepuk lengannya perlahan dengan memanggil.
“Mon, Mon, bangun Mona, solat yuk udah subuh”.
Mona pun terbangun, dan sejenak mulai beradaptasi dengan keadaan sekitarnya. Dia pun mengatakan hal yang membuat aku sangat terkejut
 “Lis, buat apa kamu bangunin aku pagi-pagi gini. Aku gak biasa bangun subuh. Aku seneng banget kamu mau ajak aku buat solat, tapi....”
aku pun memotong dengan menanyakan pernyataan berikutnya yang sangatlah lama ia katakan.
“tapi apa Mona?”
“aku gak bisa solat Lis.”
            Setelah aku tanyakan lebih dalam lagi alasannya, aku baru tahu bahwa Mona tidak pernah diajarkan solat ataupun mengaji. Wudhu pun dia tidak tahu caranya. Ibunya sibuk mengurus bisnis online-nya di bidang fashion dan juga interior. Sedangkan, ayahnya sibuk mengurus perusahaan keluarga dan cabang-cabangnya yang banyak menyebar diberbagai kota. Mona bersekolah di kota metropolitan yaitu kota Jakart, dan sekarang dia datang kerumahku untuk menghabiskan awal liburan kampusnya di kota Bandung.
            Aku pun tetap mengajaknya solat. Aku coba ajari dia untuk berwudhu, dan mengikuti gerakan solat yang aku lakukan, namun tetap serius dan tertuju pada Allah.
            Kulihat jam dinding yang sudah cukup tua di ruang tamu. Ternyata sudah jam 6 pagi. Aku bergegas memasak nasi goreng dan goreng telur mata sapi untuk sarapan pagi ini. Lalu, mencuci semua piring kotor dan mulai menyapu lantai. Saat menyapu teras rumah, ada seseorang yang membuka pagar rumah dan berjalan ke arahku. Itu adalah ibuku, ibu baru pulang dari rumah uwa yang tidak jauh dari rumah. Karena ada kepentingan, maka ibu menginap dirumah uwa dan baru pulang pagi ini. Namun, ibu tahu bahwa ada temanku yang akan menginap dirumah kami untuk beberapa hari.
“Asalamualaikum, Lista.”
“Wa’alaikumsalam bu.”
“Temanmu sudah datang Lis?”
“Sudah bu. Kemarin dia tiba disini jam 7 malam. Sekarang lagi di kamar tamu, katanya mau mandi dan nanti keluar buat ketemu ibu.”
“Oh, ya sudah ibu ke kamar dulu ya mau nyimpan tas dulu.”
            Tidak lama kemudian Mona keluar dengan menggunakan kaos panjang bergambar dengan warna hijau tosca dan celana ¾ berbahan jeans. Rambutnya pun diikat, dan dia hanya menggunakan make-up natural. Ku ajak dia keruang makan yang letaknya tidak jauh dari ruang tamu dan cukup untuk 4 orang. Tidak lama kemudian, ibu keluar dengan dasternya yang panjang berwarna merah marun dan bercorak batik.
“Hey Mon, gimana kabarnya? Sudah lama sekali kamu tidak datang kemari.”
“Oh iya tante, Mona baik kok. Tante sendiri gimana? Sehat kan?”
“Iya, Alhamdulillah ibu dan Lista sehat-sehat saja. Ayo kita sarapan dulu. Maaf ya sederhana, kami hanya seadanya saja, hehe.”
“Gak apa-apa kok bu, segini juga udah bersyukur. Selamat makan.”
            Selesai sarapan, aku dan Mona membereskan meja makan, sedangkan ibu hendak menyetrika baju dimeja setrika yang ada di depan televisi. Aku pun meminta izin pada ibu untuk pergi jalan-jalan ke taman kota bersama Mona.
            Kugunakan kaos panjang berwarna Violet dengan gambar kucing, dan menggunakan jeans panjang. Kuurai rambutku, dan kugunakan sendalku. Dengan jam tangan dan make-up natural, aku pergi keluar rumah bersama Mona untuk jalan-jalan santai kesekitar taman kota yang tidak jauh dari rumahku.
            Ditengah candaan kami karena kerinduan antar teman, aku pun mulai berbincang-bincang soal masalah yang ingin diceritakan oleh Mona kemarin malam yang sempat tertunda. Mona memiliki masalah yang cukup serius. Kedua orang tuanya berencana untuk bercerai karena dianggap sudah berbeda paham dan pendapat. Masalah ini muncul disaat Mona akan mengikuti perlombaan melukis di kampusnya, karena dia terkenal dengan lukisannya yang indah dan penuh estetika. Ditambah, kakak laki-lakinya terancam masuk penjara karena kasus tabrakan yang terjadi beberapa waktu lalu di daerah puncak dan sekarang sedang diproses.
            Mona tidak tahu harus cerita pada siapa untuk berbagi dan meminta saran agar dia tida stress memikirkan masalah hidup yang tiada hentinya. Lama kami berbincang dan tanpa terasa adzan Dzuhur pun berkumandang dari sebuah mesjid besar di pinggir jalan sana. Aku pun mengajaknya ke mesjid sebentar untuk solat sebelum kami pulang kerumah. Dia begitu gugup karena memang dia belum pernah menginjakan kaki di mesjid manapun sebelumnya.
            Aku paham posisinya sekarang. Penuh kegelisahan, penuh dengan beban pikiran dan begitu jauh dari Tuhan. Maka, aku berniat untuk mengenalkan dia dengan agama yang dia pegang selama ini. Kuajak dia berwudhu, dan kami solat berjemaah di mesjid ini. Sehabis berdo’a, kami diam sejenak di depan mesjid yang letaknya berada diatas jalan dan nyaman untuk tempat beristirahat.
            Dia tersenyum melihat sekitar, dan aku pun mulai berkata sesuatu padanya untuk memulai pembicaraan.
“Mon, kamu tahu gak kenapa hidup kita di dunia ini penuh dengan cobaan yang tiada hentinya? Mulai dari masalah kecil hingga yang besar yang kita pikir gak mungkin kita sanggup hadapi itu semua?”
“Mungkin kita emang tercipta buat disiksa Lis, atau apa? Aku gatau kenapa masalah itu datang bertubi-tubi.”
“Bukan Mon. Itu karena Tuhan sayang sama kita. Allah ingin kita lebih dekat dengan-Nya, makanya Allah memberikan cobaan pada kita, untuk menguji kesabaran kita dan membuat kita meminta pertolongan pada-Nya. Allah sangat senang apabila hamba-Nya mau berdo’a dan dekat dengan-Nya. Dia tidak mungkin memberi cobaan yang berat bila hamba-Nya tidak mampu menghadapinya.”
“Jadi maksudmu, aku adalah orang yang bisa menghadapi ini semua, makanya Tuhan berikan cobaan ini padaku?”
“Ya, benar. Yakinlah bahwa kamu tidak pernah sendiri sekalipun kamu berada didalam ruangan gelap gulita sendirian. Allah ada didalam tubuhmu Mon.”
“Ya, aku mengerti. Aku dan kedua orang tuaku sudah melupakan Tuhan. Aku sudah berdosa Lis. Apakah kalau aku bertobat, Tuhan akan memaafkanku? Karena sudah terlalu lama dan aku pikir ini terlambat.”
“tidak ada kata terlambat. Allah Maha Pengampun Dosa.”
            Setelah pembicaraan kami disiang itu, Mona mulai rajin belajar mengaji dan melancarkan solatnya. Aku pun sama-sama belajar untuk lebih menguatkan iman ku. Dan setelah 2 minggu dia tinggal dirumahku, Mona pun pamit pulang dengan menggunakan bis Arimbi jurusan Bandung-Jakarta.
            Sebulan, dua bulan berlalu. Hingga setelah 6 bulan Mona menghubungiku. Dia cerita bahwa orang tuanya tidak jadi bercerai. Ibunya berhenti usaha tinggi dan hanya membuka warung kecil di depan rumah dan menjadi ibu rumah tangga. Sedangkan ayahnya tetap bekerja di perusahaannya, dan kakaknya telah menyelesaikan kasusnya dengan jalan damai.
            Mona pun berhasil meraih juara pertama dalam lomba melukis di kampusnya. Dia sangat bahagia dan mulai sadar bahwa Allah tidak akan meninggalkannya terpuruk sendiri. Dan pasti ada titik terang dalam segala masalah.
            Aku pun bahagia mendengar itu semua, dan meyakinkan diri bahwa Allah Maha Besar dan Maha Tahu jalan menghadapi masalah hidup. Seperti tanah kosong yang apabila kita rawat, maka akan subur dan tumbuh rumput hijau diatasnya. Begitupun hati, apabila diberi ketaqwaan, maka akan selalu tenang dan yakin akan kebesaran Ilahi.

GAGAL BUKAN AKHIR, TAPI AWAL DARI SEGALANYA


           Sore itu adalah penantian pengumunan SNMPTN 2012. Itu adalah kali pertama aku mengikuti seleksi masuk PTN. Sebelumnya, aku sudah mengikuti SNMPTN jalur undangan, namun ternyata aku gagal masuk PTN yang aku targetkan pada jalur undangan tersebut. Dan aku ikuti SNMPTN tulis 2012. Aku memilih study IPA dengan memilih 2 perguruan tinggi di kota Bandung. Sore itu aku merasa tenang dan berdo’a. Aku merasa biasa saja, tidak ada rasa cemas, namun tidak ada perasaan optimis akan lolos. Hingga akhirnya kulihat jam, dan sudah menunjukan pukul 19.00 WIB.
            Kubuka handphoneku, dan ku klik browser untuk membuka website SNMPTN 2012. Ku masukan id dan password, dan yang aku lihat adalah kata GAGAL! Aku menangis, dan teringat keluargaku yang mungkin menanti-nanti hassil apa yang aku dapat untuk masa depanku. Pikiranku seketika kacau, aku menangis dan menangis. Tangisanku bukan karena melihat kata-kata itu, tapi tangisan ku ada karena aku tersadar bahwa aku telah mengecewakan semua orang.
            Dan tak mau aku terus terpuruk dengan hasil yang aku dapat, aku memutuskan mengikuti jalur mandiri yang diadakan PTN di Bandung. Dan kuputuskan memilih salah satu PTN di Bandung dengan mengambil 2 bidang study. Kutunggu hasilnya hingga berminggu-minggu. Tak terpikir untuk mendaftar ke PTS atau perguruan tinggi swasta. Hingga akhirnya keputusan muncul dan aku kembali GAGAL!
            Kini aku bukan menangis, tapi merasa malu pada diriku sendiri yang tidak dapat lolos ke salah satu PTN yang akan mengantarkan aku menggapai masa depanku nanti, aku pun sedih karena harus membuat keluargaku kecewa, khususnya ibu, ayah dan uwaku. Namun, ada nenek yang selalu memberikan support, meski aku pernah berfikir untuk berhenti sekolah dan memutuskan mencari pekerjaan saja. Hingga pada akhirnya, aku didukung untuk memilih PTS daripada harus menganggur dirumah. Aku binggung harus memilih PTS yang mana, karena rata-rata tidak ada jurusan yang aku mau seperti di PTN.
            Akhirnya aku memilih Universitas Pasundan Kota Bandung dengan mengambil prodi Teknologi Pangan, dan kampusnya berada di jalan Setiabudi 193 Bandung. Awalnya aku tak tau mengapa aku memilih prodi ini, akupun bingung apa aku bisa mendapatkan pekerjaan yang layak setelah lulus dari jurusan ini. Serta, apakah tidak akan memberatkan keluarga dengan biaya swasta yang kita tau harganya lebih mahal dari negeri.
            Namun, dengan berjalannya waktu, dan kini sudah menginjak semester 3 dan 4, aku mulai menyadari lebih baik bersyukur dengan apa yang ada, daripada harus terpuruk dengan masa lalu yang gagal dan sibuk memikirkan cemoohan orang yang tidaklah penting untuk dilayani.
            Negeri atau Swasta sama saja, yang dilihat bukan status kampus, tapi kualitas mahasiswa, kualitas otak dan hati, serta keyakinan bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik, dengan kejutan-Nya yang indah. ALHAMDULILLAH.”

PERTEMUAN DI SAAT SENJA

  Malam mulai menjelang. Kulihat jam dinding disudut rumahku, dan waktu telah menunjukan pukul 19.46 WIB. Aku mulai beranjak dari sofa ruang tamu dan berjalan menuju kamar tidur. Aku tidak langsung menuju tempat tidur untuk beristirahat, melainkan membuka lemari bajuku yang terletak disamping tempat tidur. Tidak lama kemudian, suara handphone berbunyi dengan nada piano dari soundtrack sebuah film yang aku sukai yaitu twilight. Kuambil dan ternyata yang menelepon adalah kak Delia, lalu akupun menjawab telepon itu.
“Hallo, kak Delia.”
“Hallo, Nadia. Sorry aku ganggu kamu malam-malam gini. Aku mau ngabarin kalau Rival akan pulang besok sore. Kamu mau jemput dia gak dibandara besok? Katanya dia tiba kira-kira jam 4 sore.”
“Oh, Hmm, iya kak mau. Kebetulan aku besok gak ada acara apa-apa.”
“Okay, nanti aku sms kamu aja ya. Malam Nad. Bye.”
“Bye..”
            Rival adalah pacarku. Kami telah berhubungan selama 4 tahun lamanya. Aku mengenalnya sejak kami duduk dibangku kelas 3 SMA, dan kami pun memutuskan untuk berpacaran. Namun, dia memutuskan untuk melanjutkan study-nya ke salah satu universitas di Amerika. Sungguh aku terkejut mendengar dia akan kembali dan kakaknya memintaku untuk menjemput dia di bandara besok sore. Sudah hampir 2 tahun terakhir ini, kami tidak pernah berhubungan lagi. Tidak ada kejelasan status kami, dan aku pun sudah mulai melupakannya.
Aku terdiam didepan kaca lemari dan memandangi wajahku sendiri, aku teringat masa laluku bersama dia dan tak kusangka ternyata aku sangat merindukannya. Cukup lama aku berdiri didepan kaca, dan terkejut mendengar ketukan pintu kamarku. Aku tersadar dan berjalan menuju pintu kamar, ternyata mamaku yang datang.
“belum tidur sayang? Udah jam 11 malam loh, cepat tidur nanti kamu sakit kalau begadang.”
“udah jam sebelas? Oh iya mam. Mama juga istirahat ya. Oh iya mam, besok aku boleh gak pergi kebandara buat jemput Rival? Tadi kakaknya nelepon dan memintaku menjemputnya.”
“Oh, Rival sudah mau pulang ke Indonesia? Ya sudah mama izinkan kok, siapa tau ada yang mau kamu bicarakan sama dia. Sekarang kamu istirahat ya sayang.”
“Iya mam.”
Dan saat mama mau menutup pintu kamar, aku memanggil mama kembali.
“Mam..”
“Apa sayang?”
“I love You.”
“I love you too my little princess.”
            Mama adalah orang yang selalu mengerti aku. Aku selalu curhat  semua masalah pada mama, termasuk masalah antara aku dan Rival. Diamnya aku tadi membuat aku tak sadar bahwa waktu begitu cepat berlalu. Dan aku pun berjalan menuju tempat tidurku yang berada didekat jendela dan lemari pakaian. Kutarik selimut dan kuucapkan do’a, hingga aku terlelap dan hanyut dalam mimpiku.
Pagi pun tiba. Kubuka jendela kamar dan masuklah udara sejuk dari luar. Kulihat keadaan diluar lewat balkon lantai dua rumahku, begitu sejuknya udara pagi ini. Aku bereskan tempat tidurku, mulai dari merapikan seprai biru mudaku, bantal dan selimutku. Aku pun turun kebawah, dan kulihat mama sedang asyik  menyirami bunga-bunga di halaman depan.
“Pagi mam.”
“Pagi sayang.”
Lalu kulihat televisi menyala dengan channel berita pagi, dan kulihat papa menonton televisi dengan ditemani teh manis hangat kesukaan papa.
“Pagi pah.”
“Pagi Nad, apa rencanamu di awal liburan ini?”
“Aku mau jemput Rival pah nanti sore, boleh aku pergi?”
“Oh, tentu saja boleh. Asal kamu hati-hati ya nanti perginya.”
“Iya pah.”
            Sore pun tiba, kulihat jam dinding dan waktu telah menunjukan pukul 15.05 WIB. aku sudah selesai mandi, dan aku memilih pakaian yang akan aku gunakan untuk menjemput Rival di bandara. Kuputuskan menggunakan kemeja panjang berwarna hijau tosca dengan bahan shifon, dan corak bunga berwarna pink. Kupadukan dengan jeans panjang, serta wedges setinggi 3 cm yang berwarna coklat dengan pita dipinggirnya. Tak lupa aku pun membawa tas kecil yang aku selendangkan dengan warna coklat tua.
            Kugunakan bedak dengan warna honey, lipstick berwarna pink, kusisir dan kuurai rambutku yang hitam panjang, kugunakan jam tangan rantai berwarna silver, dan sedikit sentuhan terakhir parfum Angel Heart pada tangan ku.
            Akupun pergi dengan menggunakan sebuah  Mercedess Benz e-200 berwarna putih milik papaku, dan tujuanku adalah bandara. Pukul 15.45 WIB aku tiba di bandara, dan mencari jalur tempat keluarnya para penumpang dengan tujuan New York – Indonesia. Kutunggu sambil sesekali kulihat jam tanganku. 15 menit, 30 menit, dan satu jam berlalu hingga waktu menunjukan pukul 17.00 WIB.
            Aku pikir, mungkin dia sudah pulang dari tadi, atau aku berdiri dan menunggunya di jalur yang salah. Kuhubungi kak Della, namun handphone-nya tidak aktif. Hal ini membuatku semakin gelisah. Dan kuputuskan menunggu 10 menit lagi. Namun, tak ada tanda-tanda kedatangannya, dan membuatku hopeless. Mungkin dia tidak jadi pulang hari ini, dan aku memutuskan untuk pulang.
            Saat kubalikan tubuhku, dan mulai berjalan perlahan menjauhi tempat aku menunggunya dengan hati yang kecewa, diiringi senja yang muncul menandakan malam akan datang, tiba-tiba ada yang memegang lenganku dari belakang. Aku terkejut, dan saat aku kembali berbalik badan ternyata orang yang memegang lenganku adalah Rival. Hentak aku menangis dan kupeluk dia. Sungguh aku merindukannya, dan inilah penantian dan pertemuanku di saat senja yang berbuah manis.